Pembelajaran
Ikhlas dalam Bekerja Tanpa Pamrih dari
Sosok Seorang
Bunda dan Guru Tercinta
Berprofesi sebagai guru
tak pernah terlintas di benakku. Sejak awal aku bercita-cita menjadi seorang lowyer yang siap sedia membela kebenaran
tanpa pamrih. Atas dasar itulah kupilih fakultas hukum saat melanjutkan
pendidikan di perguruan tinggi. Hari demi hari kujalani dengan belajar dengan
tekun, alhasil cita-citaku mempersembahkan Indeks Prestasi (IP) yang tinggi
dapat kugapai. Semester I IP yang kucapai 3,70 dan alhamdulillah semester 2
mencapai 4,00. Rona kebahagiaan terpancar
pada wajah ayah dan bunda, saat kartu nilai kupersembahkan kepadanya.
Hematku, ini adalah salah satu wujud baktiku sebagai seorang anak.
Ketika madu tumpah di lautan, ketika aku telah
bersusah payah berjuang meraih impianku menjadi sarjana hukum. Ketika kami
sangat membutuhkan sosok seorang ayah, ketika kami sangat membutuhkan biaya
pendidikan, Allah menguji keimanan dan ketabahan keluarga besar. Sang Khalik
memanggil ayah tepat pada hari Kamis, 25 Mei 1995. Aku sebagai anak sulung sangat terpukul dengan
keadaan ini. Di pikiranku terlintas bagaimana dengan pendidikan aku dan
adik-adik karena bunda hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa. Ternyata
sesuatu yang kukhawatirkan betul-betul melanda diriku. Impianku menjadi seorang
praktisi hukum kandas di tengah jalan, pada hal aku telah mengikuti Kuliah
Kerja Nyata (KKN), sementara itu adikku lulus pada Fakultas Teknik Universitas
Hasanuddin. Bunda bingung memutuskan mana yang harus mengalah di antara kami.
Akhirnya dengan berat hati aku pun mengalah. Hati sangat sedih. Tangisku pecah ketika
cita-citaku tak terkesampaian. Ingin rasanya kubangunkan ayah di alam kubur,
namun seketika terngiang sebaris kata ayah yang selalu berulang menelusup ke
telingaku sebelum beliau meninggal dunia “Nak, Kamu adalah anak sulung,
tanggung jawabmu menjaga bunda dan mendidik adik-adikmu, kamu harus mengikhlaskan kepergian ayah. Ayah yakin
insyaallah kalian akan menjadi anak sukses dunia dan akhirat. Kuncinya adalah
senantiasa beribadah, jujur, dan jangan mudah putus asa. Kamu pasti bisa!”
Setiap kuingat kata-kata itu, semakin berat beban yang kurasakan, terlebih, urutanku sebagai sulung dari delapan bersaudara. Tidak mudah bagiku sebagai anak sulung. Kurasakan beban ibuku yang semakin menjadi. Kulihat begitu berat beban yang harus dipikul bunda menjadi wanita “single parent” karena beliau tidak mempunyai pekerjaan, namun beliau selalu tabah. Di pertiga malam ia bermunajat kepada Sang Khalik seraya memohon kesuksesan putra-putrinya. Sedikit demi sedikit aku belajar dari ketegaran bunda menghadapi hidup. Aku sangat menyayanginya. Aku tak ingin bunda pusing hanya sekadar persoalan finansial keluarga. Aku tak ingin bundaku sakit dan harus kehilangan dua orang yang sangat kucintai yaitu ayah dan bunda. Tiada pernah putus doaku agar bunda diberi kesehatan lahir dan batin hingga melihat anak-anaknya sukses. Atas dasar itulah kucoba merintis usaha kecil-kecilan. Bunda dan adik-adikku sangat antusias membantu usahaku. Semua keuntungan yang kudapatkan semuanya kupersembahkan untuk bunda dan biaya sekolah adik-adik.
Setiap kuingat kata-kata itu, semakin berat beban yang kurasakan, terlebih, urutanku sebagai sulung dari delapan bersaudara. Tidak mudah bagiku sebagai anak sulung. Kurasakan beban ibuku yang semakin menjadi. Kulihat begitu berat beban yang harus dipikul bunda menjadi wanita “single parent” karena beliau tidak mempunyai pekerjaan, namun beliau selalu tabah. Di pertiga malam ia bermunajat kepada Sang Khalik seraya memohon kesuksesan putra-putrinya. Sedikit demi sedikit aku belajar dari ketegaran bunda menghadapi hidup. Aku sangat menyayanginya. Aku tak ingin bunda pusing hanya sekadar persoalan finansial keluarga. Aku tak ingin bundaku sakit dan harus kehilangan dua orang yang sangat kucintai yaitu ayah dan bunda. Tiada pernah putus doaku agar bunda diberi kesehatan lahir dan batin hingga melihat anak-anaknya sukses. Atas dasar itulah kucoba merintis usaha kecil-kecilan. Bunda dan adik-adikku sangat antusias membantu usahaku. Semua keuntungan yang kudapatkan semuanya kupersembahkan untuk bunda dan biaya sekolah adik-adik.
Pucuk dicinta ulam tiba.
Sekitar tiga bulan kutekuni usahaku, sekalipun kemampuan bahasa Inggris yang kumiliki
masih terbilang pas-pasan, aku ditawar mengajar bahasa Inggris pada program Children’s Court di Yayasan Pendidikan
Fitriah Soreang Pangkep. Seiring waktu, Yayasan tempatku mengabdi membuka Kelas
Paket B bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Pangkep dibina oleh Ibu Nurhayati Laode (Pengawas Pendidikan Luar Sekolah). Program ini
diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu. Aku diajak bergabung menjadi guru
pamong. Kesempatan ini tak kusia-siakan. Menurutku dengan mengabdi pada program
ini, setidaknya kudapat menyumbangkan pikiran dan tenaga, mengingat kemampuan
berbagai materi kepada sesama masih minim.
Program ini adalah lahan pahala bila kita ikhlas menunaikannya. Mengabdi
pada program ini memiliki suka dan duka. Aku sangat teringat ketika kami harus
memberikan motivasi kepada peserta didik, karena umumnya tidak yakin bahwa kelak
memiliki ijazah SMP. Tiada hentinya kami memberi motivasi untuk membangkitkan
kepercayaan diri. Mereka terkadang malu karena sering diejek oleh masyarakat
sekitar. Maklumlah pesertanya rata-rata pengangguran. Di antara mereka ada yang
seumur denganku. Belum lagi tantangan
dari para orang tua. Mereka lebih menginginkan anaknya membantu di sawah
daripada sekolah.
Walau terasa semanis
gula, tak bakal langsung kureguknya, meski sepahit empedu tidak pula buru-buru
kumuntahkannya. Pujian, tantangan demi
tantangan kami hadapi dengan sabar dan tak mengenal putus asa. Sanjungan dari
berbagai pihak tak membuat kami angkuh. Demikian pula pahitnya medan tak
membuatku patah semangat. Mengajar beberapa bidang studi membuatku semakin giat
belajar. Honor guru pamong sebesar Rp 70.000, per bulan tidak mematahkan
semangat dalam mengabdi untuk mencerdaskan anak bangsa. Pengalaman yang paling
berkesan ketika aku mengunjunginya di sawah, tambak, dan di rumah melewati pematang
sawah yang becek, ketika mereka tidak masuk sekolah. Mereka serasa telah menjadi bagian keluarga
kami. Hal membuatku terharu dan bahagia ketika mereka akhirnya mengikuti Ujian
Nasional (UN). Alhamdulillah dari 40 peserta dari awal akhirnya bertahan sampai
39 peserta mengikuti ujian dan dinyatakan lulus.
Tak terasa tiga tahun
aku mengabdi di Yayasan Fitriah, seorang kerabat bernama Ibu Nursiah, S.Pd.
terangkat menjadi Kepala Sekolah di SD Kalibone. Semua administrasi kantornya dirental di yayasan tempatku bekerja. Tak
disangka ia bertemu dengan Kepala SMP Negeri 1 Pangkajene Bapak H.Mursalin. Beliau meminta diberi informasi jika mendapat
tenaga operator komputer. Spontan Ibu Nursiah teringat akan sosok diriku. Sore
harinya beliau langsung menemuiku dan menyampaikan kabar tersebut. Kabar
gembira tersebut tidak langsung kuterima, tetapi kukonsultasikan dulu kepada Ibu Hasnah,
S.Pd, selaku ketua yayasan tempatku bekerja, sekalipun ia adalah tanteku
sendiri. Ia setuju kalau aku bekerja di sekolah karena mengajar kursus dapat
dilaksanakan di sore hari. Keesokan
harinya aku diajak menghadap Pak Mursalim di kediamannya. Setelah bersalaman
beliau menyampaikan bahwa tenaga yang dibutuhkan ternyata bukan operator komputer,
melainkan guru komputer karena di SMP
Negeri 1 Pangkajene terdapat mata pelajaran muatan lokal komputer. Kebetulan
dua guru komputer yang mengajar di sekolahnya mengundurkan diri. Beliau
langsung menerimaku tanpa membawa surat lamaran kerja dan diharapkan mulai bekerja
besok.
Setelah memohon restu bunda,
kulangkahkan kaki menuju SMP Negeri 1 Pangkajene dengan mengucapkan bismillah.
Hatiku bahagia karena dengan mengajar di
sekolah ini itu berarti aku kembali mengabdi ke almamaterku. Di sisi lain
jantungku berdenyut kencang karena merupakan pengalaman pertamaku mengajar di
SMP. Hari kedua aku pun diminta mulai mengajar, ternyata aku harus mengajar 34 jam pelajaran karena kelas VII s.d. IX dipercayakan kepada diriku. Hari demi
hari kulalui, guru, staf, dan peserta didik sangat bersahabat denganku. Di
selah waktu kosong atau istirahat beberapa staf dan guru bergabung belajar komputer
di laboratorium, bahkan peserta didik rela membersihkan laboratorium asalkan mereka
masuk belajar komputer.
Entah mengapa suatu
waktu aku seketika ingin mengundurkan diri mengajar di sekolah. Entah mengapa
aku menjadi manusia yang sangat perhitungan. Aku merasa penghasilanku menerima
ketikan di yayasan jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan penghasilan
mengajar di sekolah. Kucoba membicarakan keinginan mundur kepada Pak Saleh,
S.Pd. dan guruku Pak Jafar, S.Pd. Beliau menasihatiku untuk bertahan seraya
berkata “Nak, sekolahmu sangat membutukanmu. Nak, pada dirimu terdapat bakat
guru, peserta didik senang diajar
olehmu. Coba Nak jika kamu menjadi guru, betapa bahagianya jika kamu ke pasar
terdengar suara memanggilmu, Ibu…, Ibu.” Ujaran itu membuat hatiku tersentuh,
air mata menetes membasahi pipi. Perasaan haru, bahagia berkecamuk di hati.
Keesokan harinya kepala sekolah meminta aku menghadap. Ternyata Pak Jafar telah
menyampaikan keinginanku mengundurkan diri kepadanya. Setelah mempersilahkan
aku duduk beliau memohon agar tetap mengajar. Sambil berkata “Bu, kami sangat
membutuhkan Ibu.” Tak kusangka ternyata beliau selalu mengamatiku mengajar. Setelah
aku keluar kelas atau peserta didik keluar dari laboratorium ia mewawancarainya
tentang bagaimana cara penyajian materiku.
Setelah aku menerima
nasihat, baik dari guruku maupun kepala sekolah kutetapkan hati bertahan mengabdi di SMP Negeri 1 Pangkajene. Suatu hari Pak Jafar kembali menasihatiku “Nak,
kuliah saja di STKIP Maros, tidak usah lanjutkan kuliahmu di fakultas hukum
karena pada dirimu terdapat talenta pendidik. Selain itu kalau kamu kuliah di
sana kamu masih boleh tetap kerja karena kuliahnya di sore hari.” Pertimbangan
beliau berterima di pikiranku. Sedikit
demi sedikit aku menabung penghasilan. Aku tak berani melanjutkan kuliah jika
tak mempunyai persiapan awal. Jujur aku takut gagal kedua kalinya.
Alhamdulillah setelah mempunyai modal awal akhirnya aku mendaftar kuliah
kembali dengan memilih jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia. Di pagi
hari aku mengajar dan di sore hari aku kuliah. Semakin hari kurasakan betapa
nikmatnya menjadi pendidik. Mengajar dengan guru yang pernah mendidik aku
ketika sekolah adalah pengalaman yang paling berharga. Di sini aku belajar
tentang sosok guru. Ternyata seorang guru selalu memperhatikan kesuksesan
peserta didiknya, kapan dan dimanapun ia berada.
Enam bulan aku mengabdi
di SMP Negeri 1 Pangkajene. Tepat di sore hari, sepuluh orang alumni SD Negeri 52
Kampung Pagang berkunjung ke rumah. Namanya Firmansyah, Rukmana, Darisah,
Narti, Hamidah, Alwi, Faridah, Nurjannah, Fatmawati, dan Khairunnisa. Mereka
menceritakan tentang masalah yang dihadapinya. Sambil tertunduk sedih salah seorang di antara mereka berkata
“Bu, bagaimana dengan nasib kami setelah tamat SD jadi pengangguran karena orang tua tidak mampu membiayai pendidikan kami.”
Mendengar curahan hatinya, hatiku pilu seakan disayat sembilu. Aku teringat
akan peristiwa yang pernah menimpa diriku. Aku teringat saat dimana kugagal
meraih impian menjadi seorang praktisi hukum karena persoalan materi. Mereka
berkeinginan aku membuka Paket B. Sembari menatap wajah lugunya, tiba-tiba
kuteringat bahwa SMP Negeri 1 Pangkajene mempunyai SMP Terbuka. Di benakku
berdoa ”Ya Allah semoga kudapat membantu mereka dengan mendaftarnya di SMP
Terbuka.” Di akhir perbincangan aku menasihatinya jika kelak kutemukan solusi,
mereka harus serius belajar dan tidak mesti dicari di rumahnya. Mereka spontan
menjawab “Kami akan serius belajar Bu.”
Tiba di SMP Negeri 1
Pangkajene, kucoba mencari informasi tentang prosedur membuka Tempat Kegiatan
Belajar (TKB). Ibu Mirah (Pengelolah
SMP Terbuka SMP Negeri 1 Pangkajene) memberikan solusi untuk bergabung dengan
TKB Kabba tetapi tempat belajarnya boleh di kampungku. Betapa bahagianya
mereka mendengar informasi tersebut. Mereka
dengan antusias menyampaikan kepada saya kalau di Kampung Bonto Jai dan
Maleleng terdapat anak putus sekolah. Kami pun berkunjung ke rumah anak
tersebut dan mengajaknya bergabung ke TKB. Alhamdulillah mereka bersedia
bergabung sekalipun jarak rumahnya dari TKB sekitar 2 km. Akhirnya jumlah
bertambah menjadi lima belas orang. Melihat
antusias mereka, aku sangat semangat mencari
Modul SMP Terbuka di Perpustakaan. Betapa bersyukurnya lagi ternyata Bapak Sirajuddin Maezar (Ketua RW
Kampung Pagang) bersedia membantu
mengajar di TKB jika aku bertugas di yayasan. Setelah kuusulkan ke sekolah
induk ia diterima bergabung.
Langkah awal mereka
belajar di ruang tamu. Dinding kamar dijadikan sebagai papan tulis. Langkah
selanjutnya aku menghadap Kepala SD Negeri 52 Pagang, seraya memohon penggunaan
satu ruangan kelas untuk belajar di sore hari. Permintaan kami langsung diterima
dan akhirnya proses belajar-mengajar berlangsung di sekolah. Betapa antusiasnya
mereka belajar. Ketika aku belum hadir di TKB mereka mengerjakan sendiri
modulnya. Bahkan ketua kelasnya bernama Firmansyah
duduk di meja guru menjadi tutor sebaya. Keseriusannya menjadikan aku semakin
semangat. Panas terik tak menjadi
penghalang bagiku berjalan kaki berkilo-kilo meter dari Kampung Maleleng menuju
Kampung Pagang ketika aku pulang mengajar dari SMP Negeri 1 Pangkajene. Niatku
hanya satu yaitu ingin melihat mereka tumbuh menjadi anak yang berpendidikan. Aku
berniat mereka memiliki pengetahuan sama dengan sekolah regular. Untuk itu
mereka belajar selama enam hari dalam sepekan. Tiga hari aku yang bimbing dan
tiga hari selebihnya dibimbing oleh Pak Sirajuddin. Kostum yang dipakai pun
seragam sekolah SMP. Kebetulan di sekolahku peserta didik yang tamat
menyumbangkan pakaian seragamnya. Seragam itu kusalurkan kepadanya.
Kehadiran peserta didik
SMP Terbuka di kampung menarik perhatiaan warga. Di satu sisi banyak yang salut
terhadap mereka, namun di sisi lain terdapat pula beberapa peserta didik
sekolah regular seakan memandang mereka seolah-olah berada di bawahnya. Bahkan
saat belajar banyak warga kampung datang
melihatnya dan bermain di luar. Aku takut jangan sampai sarana di pekarangan
sekolah rusak dan yang tertuduh peserta didikku. Atas dasar itulah aku
menghadap kepala sekolah dan menyampaikan terima kasih dan keinginan memindahkan
TKB ke kolom rumahku. Perpindahan peserta didik ke kolom rumah sempat memutar
otakku, pasalnya di kolom rumah belum
ada meja, kursi, dan papan tulis. Selanjutnya kucoba meminta bantuan dari keluarga. Alhamdulillah
mereka merespon dengan memberi sumbangan. Dalam jangka waktu seminggu bahan
yang dibutuhkan sudah tersedia. Para orang tua peserta didik pun bergotong-
royong membuat kursi, meja, dan papan tulis. Bundaku tercinta dengan antusias
menyuguhkan hidangan konsumsi buat mereka. Sungguh kepuasan batin kudapatkan
dalam aktivitas ini.
Ruang TKB kutata
seperti kelas. Sisa kayu dibuat tiang bendera, meja belajarku waktu sekolah
kujadikan meja guru, lemari yang tidak dimanfaatkan lagi di rumah kujadikan
lemari kelas. Di atas papan tulis terpajang rapi gambar garuda pancasila,
gambar presiden dan wakil presiden. Selain itu di samping kelas terpajang foto
menteri-menteri dan gambar pahlawan. Di luar TKB dihiasi bunga. Peserta didik
secara bergiliran membersihkan TKB. Setiap kuterima honor guru pamong kubenahi
sedikit demi sarana dan prasarna TKB. Kondisi ini ternyata masih mengundang
perhatian warga sembari melihatnya dari luar pagar. Suatu hari mereka sedang
belajar bahasa Inggris. Sementara itu di luar pagar terdapat banyak peserta
didik SMP regular. Kucaba menanyakan struktur tense Simple Present Tense kepadanya, tetapi mereka tak mampu menjawab. Selanjutnya
pertanyaan yang sama kuajukan kepada peserta didik SMP Terbuka, ternyata
umumnya mampu menjawab. Di sinilah saya memberikan motivasi bahwa inilah bukti
bahwa dimanapun kalian belajar kalau bersungguh-sungguh pasti bisa. Dengan
melihat kenyataan ini akhirnya beberapa peserta regular ikut bergabung. Kalau pagi
ke madrasah, dan sore harinya ke TKB. Hal ini kulaporkan ke induk dan menurut Bapak Muchtar Abdullah, S.Sos (Kepala
Sekolah SMP Negeri 1 Pangkajene) merangkap Kepala SMP Terbuka, peserta didik tersebut
didaftar saja karena di madrasah dia sudah kelas VIII sedangkan di TKB mereka
kelas VII jadi ujiannya tidak bersamaan. Menurut Pak Saleh, S.Pd., (guru bina)
mahasiswa saja boleh kuliah di beberapa tempat. Apalagi mereka belajarnya beda
waktu. Lagi pula mereka benar-benar serius belajar.
Antusis peserta didik
belajar semakin bertambah dengan kehadiran kepala sekolah dan guru bina dari SMP Negeri 1 Pangkajene di TKB.
Dua kali dalam sepekan mereka kubelajarkan komputer di sekolah binaan karena
kebetulan saya adalah guru komputer di sekolah ini. Momen inilah yang mereka
nanti-nantikan karena selain belajar komputer, guru bina lainnya memanfaatkan
kesempatan ini mengajar mereka. Kebahagiaan mereka semakin bertambah dengan
kehadiran pengelolah TKB membagikan beasiswa. Pemandangan membuatku
tersipu-sipu ternyata setelah menerima beasiswa mereka serombongan ke pasar
berbelanja dan keesokan harinya semuanya
serba baru. Seragam sekolah, tas, dan sepatunya serba baru. Hal yang paling
berkesan adalah dengan kehadiran TKB
kampungku dikunjungi pejabat Kemendiknas
karena setiap ada kunjungan mereka diantar ke TKB karena peserta didiknya aktif
dan setiap hari belajar. Setiap kegiatan cerdas cermat di tingkat provinsi, salah peserta didikku bernama Firmansyah terpilih menjadi peserta. Ia sangat bahagia karena selain berlomba,
momen ini adalah untuk pertama kali menginap di hotel bersama guru binanya
yaitu Bapak Baso Wahab, S.Pd.,M.Pd.
Seiring berjalannya
waktu, tak terasa tiga tahun aktivitas pembelajaran di TKB berlangsung, tibalah
saat ujian nasional. Mereka mengikuti
ujian nasional di SMP Negeri 1 Pangkajene dan alhamdulillah 100%
dinyatakan lulus. Tak terasa air mataku menetes saat mengetahui bahwa mereka
melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Atas (SMA) karena waktu itu, Bupati
Pangkajene dan Kepulauan Bapak Ir. Syafruddun Nur, M.Si. mencanangkan program pendidikan
gratis. Setelah lulus SMA beberapa di antaranya melanjutkan kuliah pada
perguruan tinggi. Selebihnya telah bekerja. Terima kasih ya Allah cita-citaku
menjadikan mereka menjadi insan yang bermanfaat Engkau kabulkan.
Bertepatan dengan penamatan
peserta didik SMP di TKB, secara
kebetulan Yayasan Pendidikan Semen Tonasa membutuhkan tenaga pengajar bahasa
Inggris di SD Tonasa I. Aku diajak bergabung. Aku bersedia asalkan masih bisa
mengajar di SMP Negeri 1 Pangkajene. Kusangat bersyukur karena ternyata adik
temanku membutuhkan tempat honor dan ia juga mampu mengajar komputer. Atas
dasar itulah aku mencoba mengomunikasikan hal tersebut kepada kepala sekolah.
Beliau mengizinkanku mengajar di Tonasa dengan ketentuan tidak melepaskan jamku.
Singkat cerita aku resmi menjadi tenaga
pendidik YKSTI. Empat hari aku mengajar di Tonasa dan dua hari mengajar di SMP
Negeri 1 Pangkajene. Dengan status baru ini, alhamdulillah rezeki Allah semakin
mengalir dan mampu meringankan beban bunda. Selain itu mampu membiayai kuliah
di STKIP Maros. Suatu perjuangan yang luar biasa sembari mencari nafkah juga
menuntut ilmu. Nyaris aku tak pernah istirahat di siang hari karena pulang dari
sekolah langsung ke kampus. kalau tidak ada jadwal kuliah kumanfaatkan untuk
belajar dan mengajar di yayasan. Alhamdulillah berkat rahmat Allah lewat doa bunda
tercinta, semuanya dapat kulalui dengan ketabahan hati. Di perjalanan pulang
dari sekolah ke kampus tak henti-henti kuberdoa di atas pete-pete “Ya Allah
berikanlah hikmah dan kesuksesan di balik perjuanganku ini. Izinkan aku dan
adik-adik membahagiakan bunda dan almarhum ayah.”
Allah Maha Mendengar
dan Maha Pengasih. Doa kami dikabulkan oleh-Nya. Tepat sebulan sebelum aku
ujian meja, aku terangkat menjadi PNS. Demikian pula setahun sebelumnya, adikku
juga terangkat menjadi PNS di Kota Tarakan. Seiring waktu kuterpilih menjadi
wisudawan terbaik dari empat jurusan yang ada di kampusku dengan predikat Sangat Terpuji.
Menuju tempat wisuda air mata tak dapat kubendung. Aku membayangkan betapa
bahagianya almarhum ayah jika dapat menyaksikanku. Kebetulan aku didaulat
menyampaikan pesan dan kesan. Di akhir pesan dan kesan, sembari meneteskan air
mata kuucapkan “Jika aku meninggalkan tempat
ini, kemudian ada orang yang bertanya, siapakah yang paling berjasa dalam
hidupmu, maka akan kujawab kedua orang tuaku dan guruku”
Tepat tanggal 1 Januari
2007. SK Pengangkatan pertama kuterima. Aku terangkat bukan sebagai guru,
tetapi staf di SMA Negeri 1 Pangkajene karena ketika mendaftar CPNS aku belum
selesai. Setahun aku mengabdi di SMA Negeri 1 Pangkajene. Bupati Pangkajene dan
Kepulauan mendirikan SMA Negeri 2 Pangkajene. Beberapa guru dan staf dimutasi
ke sekolah ini, termasuk diriku. Beberapa tahun profesi staf kutunaikan terdapat kebijakan pemerintah bahwa pegawai yang
bertitel sarjana pendidikan dapat dialihkan menjadi guru dengan ketentuan
mengikuti ujian penyesuaian. Kesempatan ini tak kusia-siakan dan kebetulan
Kotamadya Pare-Pare melaksanakan ujian tersebut. Singkat cerita tepat pada
tanggal 1 April 2013 Bupati Pangkajene dan Kepulauan Bapak H. Syamsuddin A.Hamid, SE. mengalihkan statusku dari staf
menjadi guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 2 Pangkajene.
Kerinduan mendidik kini
terobati dengan peralihan status diriku menjadi tenaga pendidik. Tak pernah
terlupakan olehku ketulusan hati teman sejawat menyerahkan sebagian jam yang
diampuh kepadaku. Bukan hanya itu, mereka adalah tempatku belajar dan
berkonsultasi. Mengajar di SMA Negeri 2 Pangkajene semakin menantang diriku
untuk senantiasa belajar, bahkan harus meluangkan waktu hingga sore hari,
terkadang di malam hari demi membimbing peserta didik sekalipun tak mendapat
honor tambahan. Kepuasaan batin yang kurasakan melebihi materi jika melihat
antusias peserta didik, apatah lagi jika mereka meraih juara. Pengalaman yang
paling berharga kudapatkan selama mengabdi di SMA Negeri 2 Pangkajene adalah
keikhlasan dan kekompakan para pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta
didik. Masih teringat olehku ketika sekolah ini pertama kali dioperasikan pada
tahun 2009, kami terkadang berprofesi sebagai kulih bangunan karena sekolah yang kami huni adalah kantor
bupati lama. Puing-puing bebatuan berserakan dimana-mana. Ronsokan bangunan
memenuhi ruangan sehingga kami harus mendorongnya keluar. Aku sangat kagum dengan
sosok kepala sekolah Bapak Firdaus
A.Noor, S.Pd.,M.Si., tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia menjadi aktor utama aktivitas kerja bakti
tersebut. Selain itu kami secara bergiliran berjaga malam, bahkan menjadi juru
masak, meninggalkan keluarga demi mendampingi peserta didik di asrama. Dekat dengan peserta didik di sekolah ini
membuat aku banyak mendapatkan pengalaman yang berharga. Kuamati sosok peserta
didik yang notabene berasal dari keluarga yang terbilang berada dan terpandang,
namun ia tumbuh menjadi sosok yang sederhana, disiplin, dan santun.
Berkat keikhlasan dan
kerja sama seluruh stakeholder,
kesuksesan dapat kami raih sedikit demi
sedikit mulai dari event kabupaten
hingga nasional, bahkan internasional. Bukan hanya peserta didik, tetapi para
pendidiknya juga. Pengalaman yang paling berharga bagiku ketika diundang
mengikuti pelatihan instruktur nasional untuk program Guru Pembelajar
berdasarkan perolehan nilai UKG 2016. Aku tak pernah menyangka, bahkan
membayangkan pun tak pernah menjadi
mentor dan fasilitator guru pembelajar berlatar belakang pendidikan doktor
alumni luar negeri, berprofesi sebagai kepala sekolah, dan guru-guru hebat. Aku
merasa sebagai pendatang baru di dunia pendidikan bahasa masih memiliki banyak
kekurangan dan masih terus belajar. Semua ini kugapai berkat rahmat Allah swt.
lewat doa bunda. Pengalaman berharga lainnya adalah ketika mendapat undangan menjadi
finalis lomba menulis artikel tingkat nasional. Kupilih judul “Budaya Literasi
Menjadi Inspirasi Cerdas Kreativitas
Menulis Peserta Didik SMA Negeri 2 Pangkajene” Subhanallah bagai mimpi, setelah
berlaga di Jakarta Timur dengan 20 finalis guru SMA se-Indonesia, alhamdulillah
kuterpilih menjadi 10 finalis dan ditampilkan kembali mempresentasikan karya kami menjelang peringan
Hari Guru pada tanggal 26 November 2016 di SICC Sentul, Bogor-Jawa Barat. Aku
tak pernah menyangka bertemu dengan presiden RI Bapak Ir. Joko Widodo, pejabat teras lainnya, serta para pemenang
guru berprestasi tahun 2016.
Masih teringat olehku betapa bahagianya bunda ketika
aku lolos. Sambil meneteskan air mata beliau memeluk tubuhku. Hadiah yang
kudapatkan kupersembahkan untuknya. Tak kusangkah prestasi ini adalah
persembahan terakhirku untuk bunda di masa hidupnya. Sebulan setelah aku
pulang dari simposium guru, beliau
berpulang ke rahmatullah. Sungguh aku merasa sangat kehilangan sosok bunda yang
kokoh bagai karang, ikhlas mendidik buah hatinya tanpa pamrih, namun melihat
perjalanannya ketika sakratulmaut kami sangat mengikhlaskannya. Kematiannya
tepat saat dimana beliau terbiasa bangun menunaikan shalat tahajud. Beliau
meninggalkan kami dalam keadaan berwudu dan tertutup auratnya tepat pada hari
Jumat, tanggal 30 Desember 2016. Menjelang kematiannya tak henti-hentinya
mengucapkan syahadat, zikir, mengucapkan
lafal al quran, dan masih mengikatkan kami untuk senantiasa bersedekah kepada
sesama. Betapa bahagianya hatiku karena di saat jasad bunda berada di masjid
yang bertindak sebagai khatib adalah adikkku. Demikian pula yang menjadi imam
ketika shalat jenasa adalah adik bungsuku. Kematian bunda merupakan dakwa bagi putra-putrinya. Ternyata khusnul khatimah dapat digapai jika kita telah
menanam pahala sebelumnya sebagaimana kata pepatah “Siapa yang menanam, dia yang akan menunai”
Terima kasih ya Allah,
Engkau memanggil ayah di saat kami membutuhkan biaya pendidikan. Dengan mujizatmu
Engkau memanggil bunda di saat kami telah berhasil dan menikah, terkhusus lagi
putra bungsunya telah menamatkan hafalan Al quran 30 juz. Semoga segala amalan
yang dilakukan putra-putrimu menjadi amal jariah untukmu ayah dan bundaku tercinta di sisi-Nya, amin.
Kegagalan merupakan
pelajaran berharga bagiku. Pengalaman hidup mengajariku bahwa mengalah bukan berarti kalah, sesuatu yang menurut kita baik,
belum tentu terbaik bagi Allah. Awalnya kuanggap praktisi hukum adalah profesi
yang sesuai denganku, namun Allah Maha Tahu, ternyata profesi guru adalah
panggilan hidupku. Sosok bunda dan guru adalah inspirasi hidup bagiku. Bunda
adalah pilar bagi keluarga. Di tengah kelembutannya ada hati sekuat baja dan
cinta sebesar dunia. Guru adalah sebuah ujung tombak keberhasilan dalam sebuah
pendidikan. Sekalipun engkau disanjung dengan kalimat ‘pahlawan tanpa jasa’ namun
bagiku sosokmu adalah pahlawan yang paling berjasa dalam hidupku.